Sabtu, 08 Agustus 2009

Pertanian Tidak Menarik Bagi Generasi Muda ?

Pengantar

Tantangan berat bagi Perguruan tinggi bidang pertanian (agro komplek) saat ini adalah semakin kurang diminatinya bidang pertanian (pertanian secara umum) oleh kalangan generasi muda. Pada tahun 2007, dari 470 program studi yang daya tampungnya tak tepenuhi, sebanyak 213 bidang studi (45,32 persen) merupakan program studi yang terkait dengan bidang pertanian. Pada seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) tahun 2008 yang lalu, terdapat 2.894 kursi kosong pada program studi pertanian dan peternakan di 47 perguruan tinggi negeri.
Fakta menurunnya minat lulusan SMA memilih bidang pertanian ini tentunya akan berpengaruh pada masa depan bangsa, sehingga harus segera dicarikan solusinya. Menurut hemat saya ada beberapa penyebabnya, antara lain :

  1. Penguasaan ilmu mahasiswa S-1 pertanian dirasakan terlalu spesifik, bersifat monodisiplin, dan lebih berorientasi pada aspek pendalaman ilmu (teoritis saja),
  2. Banyak kebijakan pemerintah yang tidak pro-petani (petani tidak difasilitasi kebutuhan sarana produksinya, harga jual hasil pertanian dipermainkan tengkulak), sehingga tingkat kesejahteraan petani sangat rendah , berusaha di bidang pertanian dinilai tidak menjanjikan dan tidak menarik lagi bagi generasi muda ,
  3. Rasa nasionalisme atau kebanggaan terhadap potensi lokal sangat rendah, terbukti banyak masyarakat yang lebih bangga mengonsumsi hasil pertanian import dari mancanegara daripada produksi dalam negeri, padahal potensi SDA lokal kita sesungguhnya tidak kalah hebatnya , dan
  4. Masih sangat rendahnya budaya menciptakan lapangan kerja sendiri (wirausaha mandiri) dan orientasi generasi muda untuk mencari pekerjaan setelah lulus masih sangat tinggi, karena keberhasilan menjadi pegawai (PNS) masih dianggap sebagai ukuran kesuksesan di masyarakat dibandingkan sebagai wirausahawan.
Melihat cukup kompleksnya permasalahan tersebut, maka untuk membenahinya dibutuhkan perhatian, kepedulian, tekad yang kuat dan partisipasi semua pihak, yaitu lembaga pendidikan (dari TK, SD, SMP, SMA/K, dan perguruan tinggi), Pemerintah (Pusat dan Daerah), dan Masyarakat (termasuk pelaku bisnis / tengkulak dan sejenisnya). Image menjadi petani modern yang sukses, dibanggakan, dan merupakan pekerjaan mulia haruslah dibangun sejak dini melalui pendidikan. Demikian juga rasa nasionalisme bangga terhadap potensi lokal bangsa sendiri harus dibangkitkan. Di era otonomi daerah saat ini, apabila pemerintah pusat yang mestinya paling bertanggungjawab terhadap kebutuhan saprodi petani ternyata tidak peduli, maka sudah seharusnya pemerintah daerah memback-up mengambil kendali untuk membantu petani. Demikian juga para pelaku bisnis, mestinya juga ikut bertanggungjawab membantu permasalahan petani, bukannya memeras keringat petani dengan membeli hasil panen mereka semena-mena.

Bagaimana Alternatif Solusinya ?
Secara pribadi, saya sangat menyambut baik dan sangat setuju apabila jenjang pendidikan ahli madya seperti politeknik bidang pertanian diperbanyak dan dikembangkan di daerah-daerah. Menurut hemat saya, cukup tingginya angka pengangguran sarjana hingga saat ini (ada sekitar 60 % lulusan PT menganggur) seharusnya semakin menyadarkan kita semua bahwa jenjang pendidikan yang hanya mementingkan teori tanpa membekalinya dengan praktek yang cukup tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kita saat ini.
Untuk membenahi permasalahan tersebut, salah satu langkah yang dilakukan Dikti adalah mengganti ”baju” atau ”kemasan” pertanian menjadi ”agro-teknologi / agro-ekoteknologi” dan ”Agrobisnis”. Dari kacamata marketting, barangkali ganti baju atau kemasan menjadi  ”agro-teknologi / agro-ekoteknologi” dan ”Agrobisnis” tersebut cukup mengundang calon konsumen, namun bagi kami yang terpenting sesungguhnya adalah ”isinya” yaitu kurikulum pendidikan dan content-isi materi pembelajaran. Sekedar ganti baju tanpa membenahi isinya, barangkali tidak akan membawa perubahan  yang berarti dan hasilnya sama saja alias "sami mawon".
Sesuai dengan identifikasi masalah dan kewenangan otonomi kampus, menurut hemat saya kata kunci yang harus dipenuhi dalam kurikulum pendidikan Diploma pertanian adalah :
  1. Porsi praktek harus lebih banyak daripada teori (minimal 60 % praktek : 40 teori) ,
  2. Teknologi pertanian modern dari hulu sampai hilir harus dikedepankan, dan diprioritaskan untuk mengembangkan potensi hasil pertanian lokal.
  3. Upaya membangkitkan rasa nasionalisme bangsa harus digelorakan kembali,
  4. Pendidikan kewirausahaan, kemandirian, dan kepemimpinan harus diprioritaskan.
Untuk menjabarkan kata kunci diatas, maka mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa –terutama content atau isi perkuliahan- harus dievaluasi lagi dan disesuaikan. Penyesuaian macam mata kuliah beserta isinya ini, menurut hemat saya harus disesuaikan dengan apa VISI dan MISI dari lembaga pendidikan yang sudah ditetapkan.

Start From The End
Kurikulum yang didesain seharusnya disesuaikan dengan apa tujuan program pendidikan diploma pertanian yang ingin dicapai.  Dengan semakin jelasnya tujuan atau target yang akan dicapai, maka langkah-langkah yang disusun untuk mencapai tujuan tersebut akan semakin terfokus dan tepat sasaran pula. Melihat potensi lokal daerah dan permasalahan riil bangsa yang sedang dihadapi saat ini serta agar berbeda dengan tujuan jenjang pendidikan S1, maka menurut hemat saya tujuan pendidikan Diploma lebih difokuskan untuk menghasilkan lulusan yang profesional di bidangnya sebagai :
  1. Pendidik / penyuluh pertanian,
  2. Manajer di bidang pertanian
  3. Pengusaha atau pelaku bisnis –produksi hasil pertanian (bagian hulu)
  4. Pengusaha atau pelaku bisnis –pengolahan hasil pertanian (bagian hilir)
Untuk peran-peran yang lain, menurut saya biarlah diambil oleh jenjang pendidikan yang lainnya. Saya yakin bahwa lulusan pendidikan Diploma Agroteknologi yang lebih fokus dan spesifik tersebut pasti lebih banyak dibutuhkan masyarakat saat ini, dapat membantu mengurangi pengangguran , dan mampu menggerakkan perekonomian bangsa. Semoga saja .

1 komentar:

  1. kita harus berjuang untuk menaikkan mutu dan kualitas para sarjana pertanian dengan membuktikan bahwa sarjana pertanian atau pun calon sarjana pertanian mampu membangkitkan bangsa indonesia yang mulai rapuh di bidang pertaniannya

    BalasHapus