Sabtu, 23 Mei 2009

Entrepreneur sejati, gagal sekali bangkit dua kali

Untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran, sekaligus membangun kesejahteraan dalam satu generasi, diperlukan orang-orang dengan jiwa wirausaha atau entrepreneurship. Sayangnya, saat ini kebanyakan generasi muda justru tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha. Hal tersebut dikemukakan Founder Jaya Group, Metropolitan Group dan Ciputra Group Dr Ir Ciputra dalam seminar Entrepreneurship Quantum Leap yang diselenggarakan Harian Umum SOLOPOS bekerja sama dengan Universitas Ciputra Entrepreneurship Center dan Perkumpulan Hoo Hap Solo di Diamond International Restaurant, Sabtu (14/3).
”Ada tiga ciri pembeda entrepreneur yakni entrepreneur yang bisa menjadi seorang pencipta peluang, innovator dan pengambil risiko atau calculated risk taker,” ujar Ciputra di hadapan ratusan peserta yang hadir di tempat itu.
Pada kesempatan tersebut, Pak Ci, panggilan akrab Ciputra, yang didampingi Presiden Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC), Ir Antonius Tanan MBA MBC, memberikan penjelasan panjang tentang diperlukannya para entrepreneur untuk mengubah masa depan bangsa Indonesia. Disebutkan Pak Ci, entrepreneurship bukan hanya untuk dunia bisnis. ”Ada empat macam entrepreneur, yakni business entrepreneur atau owner dan profesional, government entrepreneur, academic entrepreneur dan social entrepreneur,” papar Pak Ci.
Melalui sesi tanya jawab, salah seorang peserta seminar menanyakan bagaimana agar seorang yang telah terjun ke dunia entrepreneurship tidak mengalami kegagalan. Pak Ci menegaskan bahwa kegagalan tersebut justru harus bisa menjadi pelajaran berharga untuk berhasil. ”Ketika seorang entrepreneur gagal sekali, dia harus bangkit dua kali. Bila gagal sepuluh kali, maka dia pun harus bangkit sebelas kali,” tegasnya. Lebih lanjut Pak Ci menambahkan anugerah alam raya Indonesia harus bisa dimanfaatkan oleh Bangsa Indonesia melalui entrepreneurship.
Untuk menumbuhkan jiwa tersebut, Pak Ci mengatakan pendidikan kewirausahaan atau entrepreneurship di sekolah, perguruan tinggi dan pelatihan masyarakat diharapkan bisa menjadi jalan keluarnya. Sebab, kebutuhan masa kini dan masa depan adalah pendidikan yang menghasilkan pencipta kerja. ”Selama 350 tahun masa penjajahan, sebagian besar rakyat Indonesia tidak mendapatkan pendidikan yang seharusnya dan peluang untuk berwirausaha. Pendidikan kita pun memiliki orientasi membentuk sumber daya manusia (SDM) pencari kerja, bukan pencipta kerja,” urainya.
Sementara itu, pembicara lainnya dalam seminar tersebut, Prof Dr Ir Djokosantoso Moeljono mengatakan untuk hidup manusia harus bekerja. Namun, lapangan kerja hingga saat ini masih sempit. Fakta lainnya menyebutkan bahwa jumlah angkatan kerja dari hari ke hari terus bertambah, sementara sektor riil kurang bergerak. Investasi dari penanaman modal, baik domestik maupun asing kurang berjalan sesuai harapan. Tingkat pengangguran pun semakin meningkat. Menghadapi hal tersebut, maka tidaklah akan terselesaikan apabila orang hanya mengeluh dan berpangku tangan, sementara pemerintah berusaha menemukan jalan keluar.
Dalam hal ini, haruslah dilakukan sebuah terobosan. Dan pemecahannya adalah bukan bekerja pada orang lain, tetapi justru berusaha sendiri dengan menciptakan lapangan kerja baru. Djokosantoso menegaskan hal tersebut dapat dilakukan, sepanjang dipersiapkan dengan matang dan sistematis. Mengapa? Menurut Djokosantoso, karena memang tidak ada pilihan lainnya. ”Sebenarnya nenek moyang kita dulu adalah wiraswastawan, entrepreneur ulung, bahkan sebelum Bangsa Tartar tiba. Pada masa sebelum penjajahan, entrepreneur-entrepreneur pribumi, Jawa, Minang, Bugis, Ambon, Aceh, Palembang telah mampu berdagang dengan piawai. Bahkan mereka telah mengarungi samudra sampai dengan Madagaskar. Ingat bagaimana kehebatan Kedatuan Sriwijaya, Keprabuan Majapahit yang mampu menjaga negaranya dari serangan entrepreneur asing,” papar Djokosantoso yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama Bank BRI tersebut di hadapan ratusan peserta seminar.
Setelah penjajahan, ungkap Djokosantoso, mind set Bangsa Indonesia, terutama orang Jawa, justru diarahkan ke arah yang sempit. Persepsi-persepsi pun diubah penjajah. ”Bangsa Indonesia diarahkan pada sikap bahwa berdagang itu rendah dan menjadi priyayi, atau ambtenaar itu derajatnya lebih tinggi. Dalam hal ini kita dininabobokkan”! Untuk itu, mind set dan persepsi tersebut harus diubah. Kita harus mempu kembali kepada semangat entrepreneur nenek moyang kita sebelum terjajah!” tegasnya.

Sumber : www.solopos.com

8 komentar:

  1. [...] the whole article on : Entrepreneur sejati, gagal sekali bangkit dua kali (Sumber: Solopos.com) Related topics : inspirasi, lapangan kerja, pengangguran, situs bisnis, website bisnis var [...]

    BalasHapus
  2. terimakasih yah.... postingannya memotivasi banget neh..

    BalasHapus
  3. terima kasih juga kunjungannya. Semoga generasi muda lainnya juga ikut tergugah dan semakin menyadari bahwa solusi paling tepat mengatasi pengangguran dan kemiskinan adalah menciptakan lapangan kerja sendiri menjadi entrepreneur.
    Salam dari Jogja.

    BalasHapus
  4. dalam buku "cashflow quadrant" karya Robert T. Kiyosaki dinyatakan kemakmuran itu kuadran B dan I. kewirausahaan mengajarkan kle S?

    BalasHapus
  5. Benar benar dilematis, semua berharap bukan cuma sebatas wacana namun langkah kongkrit dari semua pihak untuk merubah paradigma , cuma masalahnya begitu komplek sehingga dari dulu sampai sekarang masih pada fase harapan dan harapan, karena masih banyak dari kita yang minim ketrampilan bahkan sama sekali tak punya ketrampilan, di tambah permodalan/dana yang harus tersedia , tentu semua menjadi kendala semangat untuk berwiraswata ataupun menciptakan lapangan kerja, akhirnya kita hanya dapat berpanku tangan, terus menunggu tanpa tahu apa yang harus di lakukan.............

    BalasHapus
  6. Mas Adhi terima kasih kunjungannya.
    Menurut saya, fakta semakin langkanya lapangan pekerjaan saat ini (bahkan sejak beberapa tahun yang lalu) harusnya semakin membelalakkan mata kita dan segera bangun dari "tidur lelap" kita selama ini. Memang kita tidak bisa lagi menggantungkan lapangan kerja yg tersedia dan harus merubah mindset kita bahwa sudah waktunya kita -terutama generasi muda- menciptakan lapangan kerja secara mandiri, sehingga secara tidak langsung kita ini membuka lapangan kerja untuk org lain.
    Idealnya kita membuka lapangan kerja sesuai dgn kompetensi bidang ilmu yg ditekuni di bangku kuliah, akan tetapi sebetulnya bisa saja membuat bisnis dari hobi atau berawal dari adanya masalah yg mendesak di sekitar kita (peluang), sebab yang paling penting dlm membuka bisnis adalah menyukai bisnis kita itu dg sepenuh hati (passion). Bagaimana dg ilmu yg diperoleh selama kuliah ? Saya yakin banyak manfaatnya, terutama dari kemampuan soft skill (kemampuan membangun jaringan, kerjasama, komunikasi, kepekaan melihat peluang, dsb).
    Bagaimana dg ketrampilan ? Betul bahwa kurikulum pendidikan kita kebanyakan teori dan sangat kurang praktek, sehingga lulusannya ber-ketrampilan rendah dan ujung2nya bingung mau bikin usaha mandiri. Tapi yakinlah bahwa dengan kemauan keras, ketrampilan berusaha tsb bisa juga kita peroleh asalkan kita mau belajar. Sekarang ini banyak anak2 muda yg sdh berkiprah di dunia bisnis dan mereka sukses2. Kita bisa belajar dari mereka dan banyak2lah membuka website atau blog tentang entrepreneurship. Dijamin akan ketularan virusnya dan semakin kecanduan.
    Bagaimana dg modal atau dana ?. Wah.. kalo yg satu ini menurut saya juga bukan masalah, sebab saat ini banyak lembaga perbankan yg bingung cari nasabah . ATAU bisa juga pinjam di LPPM UGM yg mengelola dana CSR dari BUMN dg bunga sangat rendah (sekitar 6 % per tahun). Jadi, kuncinya yg jadi masalah sebetulnya kita sendiri. Mau merubah diri apa nggak ? Memang pada awalnya terasa berat, tetapi dg semangat ingin maju pasti bisa.
    Menjadi entrepreneur itu harus terjun langsung dan praktek melaksanakannya, bukan sekedar ngomong atau teori. Persisi seperti orang "belajar renang atau naik sepeda". Meski kita hapal teori renang atau naik sepeda, tapi tdk akan bisa kalau kita tidak mempraktekannya.
    Mudah2an uraian saya diatas tidak membuat kita pesimis atau ragu2 bila kita akan memulai menjadi seorang pebisnis atau entrepreneur.

    BalasHapus
  7. saya termasuk peserta Campus Entrepreneur Batch I yg disponsori oleh Ciputra selama 3bulan yg diadakan di PAsca Sarjana UGM dan pernah berkecimpung di Donatello yg dibanggakan Ciputra... terus keluar..terus bikin usaha sendiri sama calon suami saya, dan sekarang udah jd suami saya. bener bahwa banyak pengangguran..punya teori pun gak akan cukup. sama seperti beberapa temen2 yg akhirnya malah diangkat jd dosen di campus entrepreneur, mereka malah terjebak dengan teori yg mereka buat sendiri, bisa memotivasi.. tapi belum berani melangkah....untuk memulai bisnis baru.. ini adalah fakta.. tim pengajarnya saja belum berani apalagi anak didiknya?? akhirnya saya mengambil kesimpulan. Jangan berpikir "NANTI GIMANA" tapi lebih baik "GIMANA NANTI'. Punya ilmupun gak cukup... yang penting berani memulai usaha. semua pasti ada resikonya.. kecil atau besar. saya gak bisa bikin baju sendiri.. tapi akhirnya saya MULAI bisnis juga dibidang fashion/baju untuk anak2. Kuncinya adalah maju terus pantang mundur, berinovasi, berfikir positif, semua kesulitan ada jalan keluar, modal bukanlah hal utama.. toh saya dan suami saya bisa bikin baju dengan modal 0 alias nol..siapapun adalah relasi kita... Pokoknya yakin pada kemampuan sendiri deh....

    BalasHapus
  8. Terima kasih dik Hesti kunjungannya. Saya setuju banget dengan pendapat dik Hesti. Teori saja memang tidak cukup, yang paling penting adalah berani mencoba. Gagal itu hal biasa dalam bisnis, yang penting jangan mudah putus asa, karena dalam gagal itu ada sukses yg sedang menanti.
    Saya juga merasakan bahwa memotivasi orang lain tetapi diri sendiri belum pernah "nglakoni" sepertinya juga kurang afdhol. Oleh karena itu meskipun belum termasuk sukses, saya juga sudah praktek berbisnis dan merasakan pengalaman praktek berbisnis, sehingga bisa memberikan contoh atau panutan bagi mahasiswa (guru = bisa digugu dan ditiru ucapan serta tingkah lakunya).
    OK dik Hesti... selamat berjuang, semoga tambah sukses dan bisa jadi inspirasi mahasiswa lainnya.

    BalasHapus